Sebelum membahas contoh kasus Perebutan Harta Warisan, saya akan memberikan sedikit hal-hal yang bersangkutan dengan undang-undang pembagian harta warisan. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), ada dua cara untuk memperoleh harta warisan : secara absentatio dan testamentair.

Pewarisan berdasarkan testamentair artinya pewarisan didasarkan pada wasiat dari orang yang meninggal (pewaris). Pewarisan dengan wasiat tersebut harus dibuat dengan Surat Wasiat. Surat wasiat atau testament adalah surat atau akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya kelak terhadap harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Sebuah wasiat harus dibuat dalam bentuk akta atau surat (yang ditandatangani oleh pewaris), dan tidak boleh hanya dalam bentuk lisan. Surat tersebut harus berisi pernyataan tegas dari pewaris tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya jika ia kelak meninggal dunia. Sebelum pewaris meninggal dunia, surat wasiat tersebut masih dapat dicabut atau diubah oleh pewaris.

Agar sebuah surat wasiat bernilai hukum dan tidak cacat, maka harus diperhatikan hal-hal berikut:
  • Pewaris harus telah dewasa, yaitu telah berumur minimal 21 tahun.
  • Obyek warisan yang akan diwariskan harus jelas dan tegas, dan merupakan milik dari pewaris.
  • Obyek warisan bukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum atau bertentangan dengan kesusilaan dan kepentingan umum.
  • Pewaris memiliki akal yang sehat (tidak terganggu jiwanya), menandatangani surat wasiat tanpa tekanan atau paksaan, tidak berada dalam kekhilafan atau kekeliruan, dan tidak sedang berada dibawah pengampuan.


Pewarisan secara  absentatio adalah pewarisan menurut undang-undang karena adanya hubungan kekeluargaan (hubungan darah). Berbeda dengan absentatio, pewarisan berdasarkan testamentair dilakukan dengan cara penunjukan, yaitu pewaris (orang yang meninggalkan harta warisan) semasa hidupnya telah membuat surat wasiat (testament) yang menunjuk seseorang untuk menerima harta warisan yang ditinggalkannya kelak.

Pewarisan secara absentatio membagi ahli waris atas 4 (empat) golongan:

Golongan I, yaitu jika pewaris telah menikah, maka yang menjadi ahli waris adalah istri/suami dan/atau anak-anak pewaris.

Golongan II, yaitu jika pewaris belum menikah, atau telah menikah tapi cerai dan tidak mempunyai anak (tidak memiliki ahli waris Golongn I), maka yang menjadi ahli waris adalah orang tua (ayah dan ibu) dan/atau saudara-saudaranya.

Golongan III, Jika pewaris tidak memiliki hubungan kekeluargaan dalam Golongan I dan Golongan II diatas, maka yang menjadi ahli waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari ayah maupun ibu.

Golongan IV, jika pewaris tidak memiliki hubungan kekeluargaan dalam Golongan I, Golongan II dan Golongan III diatas, maka yang menjadi ahli waris adalah kerabat pewars dalam garis keturunan menyamping sampai derajat keenam. (www.legalakses.com).

Dibawah ini adalah contoh kasus Perebutan Harta Warisan, dimana seorang mantan suami yang telah meninggal dan hartanya menjadi rebutan antara sang ibu dari almarhum dengan mantan istri dari almarhum, berikut simak beritanya.


Sidang Rebutan Warisan Adi Firansyah

indosiar.com, Jakarta - Kasus rebutan warisan almarhum Adi Firansyah akhirnya bergulis ke Pengadilan. Sidang pertama perkara ini telah digelar Kamis (12/04) kemarin di Pengadilan Agama Bekasi. Warisan pesinetron muda yang meninggal akibat kecelakaan sepeda motor ini, menjadi sengketa antara Ibunda almarhum dengan Nielsa Lubis, mantan istri Adi.

Nielsa menuntut agar harta peninggalan Adi segera dibagi. Nielsa beralasan Ia hanya memperjuangkan hak Chavia, putri hasil perkawinannya dengan Adi. Sementara Ibunda Adi mengatakan pada dasarnya pihaknya tidak keberatan dengan pembagian harta almarhum anaknya. Namun mengenai rumah yang berada di Cikunir Bekasi, pihaknya berkeras tidak akan menjual, menunggu Chavia besar.

Menurut Nielsa Lubis, Mantan Istri Alm Adi Firansyah, "Saya menginginkan penyelesaiannya secara damai dan untuk pembagian warisan toh nantinya juga buat Chavia. Kita sudah coba secara kekeluargaan tapi tidak ada solusinya."

Menurut Ny Jenny Nuraeni, Ibunda Alm Adi Firansyah, "Kalau pembagian pasti juga dikasih untuk Nielsa dan Chavia. Pembagian untuk Chavia 50% dan di notaris harus ada tulisan untuk saya, Nielsa dan Chavia. Rumah itu tidak akan dijual menunggu Chavia kalau sudah besar."

Terlepas dari memperjuangkan hak, namun mencuatnya masalah ini mengundang keprihatinan. Karena ribut-ribut mengenai harta warisan rasanya memalukan. Selain itu, sangat di sayangkan jika gara-gara persoalan ini hubungan keluarga almarhum dengan Nielsa jadi tambang meruncing.

Sebelum ini pun mereka sudah tidak terjalin komunikasi. Semestinya hubungan baik harus terus dijaga, sekalipun Adi dan Nielsa sudah bercerai, karena hal ini dapat berpengaruh pada perkembangan psikologis Chavia.
"Saya tidak pernah komunikasi semenjak cerai dan mertua saya tidak pernah berkomunikasi dengan Chavia (jaranglah)", ujar Nielsa Lubis.

"Bagaimana juga saya khan masih mertuanya dan saya kecewa berat dengan dia. Saya siap akan mengasih untuk haknya Chavia", ujar Ny Jenny Nuraeni. (Aozora/Devi)


Solusi:

Dikasus ini, yang meninggalkan harta warisan adalah almarhum mantan suami yang menjadi rebutan antara sang ibu almarhum dengan mantan istri almarhum, dan almarhum telah memiliki anak dari mantan istrinya.

Untuk status rumah yang ditinggalkan oleh almarhum, tergantung kapan almarhum memiliki rumah tersebut, jika almarhum sudah memilikinya sejak masih bersama mantan istri maka status rumah merupakan harta bersama atau harta gono gini yang diperoleh dari almarhum saat masih bersama mantan istrinya. Hal ini sesuai dengan pengertian harta bersama menurut ketentuan pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Dan Apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut hukum masing masing (pasal 37 UUP). Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.

Mengenai harta benda dalam perkawinan, pengaturan ada di dalam pasal 35 UUP dan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

1.    Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan dikuasai oleh suami dan istri dalam artian bahwa suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud "hukumnya" masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain (pasal 37 UUP).

2.    Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi perkawinan dan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat 2 UUP). Tetapi apabila pihak suami dan istri menentukan lain, misalnya dengan perjanjian perkawinan, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian juga apabila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

3.    Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai hadiah atau warisan dan penguasaannya pada dasarnya seperti harta bawaan.
Berdasarkan uraian di atas apabila dikaitkan dengan kasus diatas maka mantan istri almarhum mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tanpa melihat alasan-alasan yang diajukan dan harta tersebut disebut harta bersama.

Mengenai hibah terhadap anak dapat saja dilakukan tetapi tanpa penghibahan pun seorang anak secara otomatis sudah menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Hibah dapat dilakukan jika tidak merugikan apa yang menjadi hak dari ahli waris, disamping itu mantan istri almarhum juga berhak atas harta warisan tersebut.


Referensi :