Pengertian Etika
Etika
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) Etika adalah Nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.Etika adalah Ilmu
tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban
moral. Menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah Seperangkat
aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus
dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau
segolongan masyarakat atau profesi”.
Istilah
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos
sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu :
tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,
watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat
kebiasaan. Dalam Al Qur’an disebut dengan khuluk (etika), Khayr (kebaikan),
Birr (kebenaran), Qist (persamaan), ‘adl (kesetaraan dan keadilan), haqq
(kebenaran dan kebaikan) dan ma’ruf (mengetahui dan menyetujui).
Etika Akuntansi
Menurut
International Federation of Accountants dalam Regar,2003
yang dimaksud dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang
mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk
bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan
industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah, dan akuntan
sebagai pendidik.
Dalam arti sempit,profesi akuntan adalah lingkup pekerjaanyangdilakukan
oleh akuntan sebagai akuntan publik yang lazimnya terdiri dari pekerjaan audit,
akuntansi, pajak dankonsultan manajemen. Profesi
Akuntan biasanya dianggap sebagai salah satu bidang profesi seperti
organisasi lainnya, misalnya Ikatan Dokter Indonesia(IDI).
Adapun
ciri profesi menurut Harahap (1991) adalah sebagai berikut:
- Memiliki bidang ilmu yang ditekuninya yaitu yang merupakan pedoman dalam melaksanakan keprofesiannya.
- Memiliki kode etik sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku anggotanya dalam profesi itu.
- Berhimpun dalam suatu organisasi resmi yang diakui oleh masyarakat atau pemerintah.
- Keahliannya dibutuhkan oleh masyarakat.
- Bekerja bukan dengan motif komersil tetapi didasarkan kepada fungsinya sebagai kepercayaan masyarakat.
Tujuan
profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar
profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi
kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat empat
kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:
- Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
- Profesionalisme. Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntansebagai profesional di bidang akuntansi.
- Kualitas Jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan denganstandar kinerja tertinggi.
- Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
Skandal Manipulasi Laporan Keuangan
PT. KAI tahun 2006
Diduga terjadi
manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu
dicatat meraih keutungan sebesar Rp, 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan
dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63
Miliar. Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan
Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan
mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S.
Manan. Audit terhadap laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan
tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk
tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
Hasil audit
tersebut kemudian diserahkan direksi PT KAI untuk disetujui sebelum disampaikan
dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT KAI yaitu Hekinus Manao
menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh
akuntan publik ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT KAI tahun
2005 :
- Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah
ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan
PT KAI selama tahun 2005.
- Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak
(SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan
dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa
pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan
Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak
bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam
mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
- Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan
sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi
tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama
lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang
belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya
dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
- Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya
dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan
modal negara sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam
neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi
menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan
sebagai bagian dari modal perseroan.
- Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian
terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya
telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT
KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan
pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik
terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik.
Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT
KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan
publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005
segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti
bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin
praktek. (Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8 Agustus 2006).
Kasus PT KAI
di atas menurut beberapa sumber yang saya dapat, berawal dari pembukuan yang
tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sebagai akuntan sudah
selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima umum sebagai salah satu
penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak menguasai prinsip akuntansi
berterima umum bisa menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan.
Laporan
Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak
tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data
disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah
biasa terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan
adalah pihak auditor menyatakan Laporan Keuangan itu wajar. Tidak ada penyimpangan
dari standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan.
Dari informasi
yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh Kantor Akuntan
Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang melibatkan BPK sebagai
auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu menimbulkan dugaan kalau Kantor
Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
Profesi
Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas, dan kejujuran. Kepercayaan
masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan baik oleh para
akuntan. Etika profesi yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal itu penting
karena ada keterkaitan kinerja akuntan dengan kepentingan dari berbagai pihak.
Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan. Pemerintah, kreditor, masyarakat perlu
mengetahui kinerja suatu entitas guna mengetahui prospek ke depan. Yang Jelas
segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan harus mendapat
perhatian khusus dan tindakan tegas perlu dilakukan.
Kesimpulan
Maka dari itu, berdasarkan kasus yang terjadi didalam
PT. KAI dapat disimpulkan bahwa Laporan
Keuangan PT KAI disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Banyak
terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data disajikan tidak
sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa terjadi
dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak
auditor menyatakan laporan keuangan itu wajar. Tidak ada penyimpangan dari
standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan. Kasus ini
juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi yang
menurut saya, akuntan internal di PT. KAI belum sepenuhnya menerapkan 8
prisip etika akuntan. Kedelapan prinsip akuntan tersebut yaitu:
1. Tanggung
jawab profesi, dimana seorang akuntan harus
bertanggung jawab secara professional terhadap semua kegiatan yang
dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab karena dia
tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut
sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan dari posisi
keuangan perusahaan yang sebenarnya.
2. Kepentingan
Publik, dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau
mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan
lain-lain. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi
kepentingan publik karena diduga sengaja memanupulasi laporan keuangan sehingga
PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT.
KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya,
termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar namun
tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian
tersebut.
3. Integritas,
dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus
ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan
manipulasi laporan keuangan.
4. Objektifitas,
dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak
memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena
diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI.
5. Kompetensi
dan kehati-hatian professional, akuntan dituntut harus
melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan,
serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan
profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI
tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan
pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun
laporan keuangan mengalami keuntungan.
6. Kerahasiaan,
akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan
jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut
tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum
untuk mengungkapkannya. Dalam kasusun ini akuntan sudah menerapkan prinsip
kerahasiaan karena hanya melaporkan laporan yang dapat dipublikasikan saja.
7. Perilaku
profesional, akuntan sebagai seorang
profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi
profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya.
Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang
menyebabkan kekeliruan dalam melaporkan laporan keuangan, dan hal ini dapat
mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.
8. Standar
teknis, akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus
mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan.
Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban
untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut
sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan
tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan
keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT
Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga.
Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai
pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat
dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.
SARAN :
· Komite
Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ
Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan
kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite
Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat
mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan
tahunan perusahaan.
· Managemen
menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.
· Komite
Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya
pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam
organisasi.
Referensi :
0 Komentar